Thursday, March 3, 2011

Ingin jadi kontributor penulisan buku "Bandung Spirit Book Series"?

Menindaklanjuti Seminar 55 Bandung 55 dalam rangka peringatan 55 tahun Konferensi Asia-Afrika di Bandung bulan Oktober-November 2010, The Asia-Africa Academy dan Bandung Spirit Network akan meluncurkan tiga buku di bawah label Bandung Book Series. The Asia-Africa Academy akan bertindak menjadi penerbit utama buku-buku ini.

Tiga buku yang direncanakan tersebut adalah:
1. Diversity in Africa and Asia: Discourses and Realities (deadline abstract: 20 Maret 2011, publikasi akhir Juli 2011). Lebih jelasnya, lihat TOR-nya di sini.
2. Religious Diversity in Africa and Asia: Condition, Motor, Obstacle or Goal of Sustainable Development? (deadline abstract: 31 Maret 2011, publikasi akhir Oktober 2011). Lebih jelasnya, lihat TOR-nya di sini.
3. Towards a Sustainable City: Global Challenges and Local Responses in Africa and Asia (deadline abstract 31 Maret 2011, publikasi akhir Oktober 2011). Lebih jelasnya, lihat TOR-nya di sini.

Jika ingin berkontribusi menjadi co-publisher salah satu atau ketiga buku yang akan kami luncurkan ini, ataupun membutuhkan informasi tambahan, silahkan hubungi kami di sini.

Tuesday, February 22, 2011

Asia-Africa 2011 Film Festival

Hingga kawanan singa menuturkan kisah mereka, semua kisah perburuan hanyalah sanjungan bagi sang pemburu - Kiasan Afrika

Latar Belakang
Asia-Africa Film Festival (AAFF) adalah festival film tahunan bertaraf internasional. Pengembangan AAFF sebagai ajang kompetisi, pendidikan dan jembatan diplomasi melalui film dilakukan pada tanggal 18-24 Oktober 2010.
Mulai edisi 2011 ini penyelenggaraan festival akan diselenggarakan setiap 18-25 April. Pilihan tanggal tersebut sehubungan dengan peristiwa bersejarah Konperensi Asia-Afrika di Bandung, Jawa Barat, Indonesia pada 1955. Konperensi yang diselenggarakan dalam konteks dekolonisasi dan Perang Dingin tersebut dapat disimpulkan sebagai panggilan perdamaian antar negara, untuk kemerdekaan dari hegemoni adidaya manapun dan untuk membangun solidaritas terhadap yang lemah dan yang dilemahkan oleh tataran dunia. Konperensi Asia-Afrika juga memahami "bahwa di antara senjata paling kuat untuk menyebarluaskan pemahaman antar negara adalah pengembangan kerjasama budaya" (Dr. Roeslan Abdulgani, 1981). Prinsip inilah yang menjadi pijakan AAFF.

Tujuan AAFF:
  • Untuk menjadi jembatan diplomasi kerjasama budaya antar negara-negara Asia-Afrika yang didasari pada akuisisi pengetahuan, pertukaran budaya yang menguntungkan, dan pertukaran informasi seperti tercantum pada Final Communiqué of the Asia-Africa Conference 1955.
  • Untuk memperlihatkan keragaman budaya, sudut pandang sekaligus kealamiahan yang menggambarkan atmosfir sosial kontemporer di lingkungannya.
  • Untuk menggugah pencarian bahasa visual dan pengisahan yang unik serta komunikatif, terutama bagi penonton lokal.
Ciri AAFF:
  • Merangkul para pembuat film dan pertukaran kebudayaan antar lingkup film Asia-Africa dan internasional.
  • Menyediakan forum bagi pembuat film muda dan pemula.
Program AAFF 2011:
  • Kompetisi, meliputi : AsiAfricAward©, Suryanegara Award, Bandung Spirit Award, DOC Food!©.
  • Pameran, meliputi: Focus On, AsiAfricAll Stars©, Windows to AsiAfrica.
  • Pendidikan, meliputi: Flying Classroom©, Ethics&Aesthetics©.
  • Forum dan Fringe Section, meliputi: Film Commissions and Councils Forum, Film Schools Forum©, Revisited©, Market! Market!©
AAFF 2011 ini akan diselenggarakan di Jakarta, Bandung, Sungailiat, Yogyakarta, Banda Aceh, Lumajang, Sanur dan Lombok.

Untuk informasi selanjutnya, bisa langsung hubungi AAFF Director melalui emailnya di sini.

Saturday, October 30, 2010

Ali Sastroamidjojo Award untuk Buku ‘Making A World after Empire’


JAKARTA –The Asia Africa Academy menganugerahkan Ali Satroamidjojo Award kepada buku Making A World after Empire: The Bandung Moment and Its Political Afterlives.
Buku yang diterbitkan pada 2010 ini dinilai sebagai karya intelektual yang mengelaborasi kembali prinsip-prinsip Semangat Bandung dalam konteks semasa (kontemporer).
Dalam penjelasannya di Newseum Indonesia, Monas, Jakarta (30/10), tim penilai yang dipimpin Taufik Rahzen mengatakan, buku yang dieditori Christopher J Lee ini merupakan kerja kolaborasi oleh sebuah pertemuan lintas keahlian di Stanford University yang memeriksa secara kritis warisan dan implikasi Konferensi Asia Afrika Bandung bagi dunia. Sebuah kajian beragam yang memperlihatkan bagaimana Semangat Bandung ditunjukkan relevansinya secara tajam dalam masyarakat kontemporer saat ini.
Nama penghargaan ini dinisbahkan pada seorang tokoh penting lahirnya Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada 1955, yakni Ali Satroamidjojo.
“Dengan segenap kerendahan hati, kelihaian diplomasi, kelenturan, dan kesabarannya, Ali mampu memadukan sosok-sosok besar semasa seperti Sukarno, Jawarhal Nehru, Gamal Nasser maupun Chou En-Lai. Ia mengelola semua energi sosial semasa dalam satu gerak momentum sejarah penting; tak hanya di Indonesia, Asia, Afrika, tapi juga dunia secara keseluruhan,” kata Rahzen.
Karena itu, lanjut pendiri The Asia Africa Academy di Bandung ini, nama Ali Sastroamidjojo pantas diabadikan sebagai anugerah untuk sebuah pengabdian pada semangat-semangat humanisme, politik identitas bangsa, penghormatan atas kedaulatan dan martabat, sebagaimana tertuang dalam Dasasila Bandung.
Selain kategori untuk buku yang bersandar pada Semangat Bandung, penghargaan serupa juga diberikan kepada individu atau lembaga yang melakukan upaya-upaya kerjasama internasional dalam menghidupkan tatanan dunia baru dengan bersandar pada Semangat Bandung.
Untuk kategori ini, Prof Dr Ir Darwis Khudori, D.E.A. terpilih sebagai penerima anugerah. Ia dinilai sebagai sosok yang tanpa kenal lelah merintis kajian-kajian Asia Afrika. Tak hanya objek studinya tentang globalisasi yang dilakukan secara kritis dan terbuka, tetapi juga Darwis Khudori menggalang pelbagai riset secara kolaboratif sejak 2005. Acara “55 Asia Africa 55” yang baru saja dilakukan dalam sebuah road show yang panjang dengan melibatkan banyak pihak dengan lintas keilmuan di Asia dan Afrika tak luput dari ikhtiarnya.
The Asia Africa Academy yang menyelenggarakan kegiatan ini adalah lembaga para independepen scholar, seniman, dan aktivis sosial yang berdiri pada 1999 di Bandung untuk mendorong perkembangan Kerjasama Asia Afrika, khususnya di bidang kebudayaan. Dalam kiprahnya hampir satu dasawarsa ini, The Asia Africa Academi tela menyelenggarakan pelbagai peristiwa, antara lain Perkemahan Budaya Asia Afrika di Sindangbarang (2002), Pameran Poster 50 Tahun Asia Afrika di Bandung (2005), penerbitan buku, membentuk Radio Bandung Jurnal, merintis saluran siaran televisi lokal dengan program Asia Afrika, dan secara reguler memperingati Konferensi Asia Afrika setiap 18-24 April. (GM/IBOEKOE)
Source : here 

Friday, July 30, 2010

Kesadaran Geo-politik Sastra

KTT Asia-Afrika 2005: Tanpa Pengarang!

Helmi Y Haska*

Di tengah gaung Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung 2005 digelar pemutaran film dokumenter pelaksanaan KAA di Bandung 50 tahun yang lalu oleh The Asia Africa Academy dan pameran poster tokoh-tokoh Asia-Afrika oleh perupa Dipo Andy di Gedung Indonesia Menggugat. Tapi di tengah acara yang cukup padat dan membutuhkan aparat keamanan yang masif, itu timbul pertanyaan: di mana para sastrawan (baca: pengarang) Indonesia di tengah forum dunia itu?
KAA Bandung 2005 penuh dengan agenda persoalan politik dan ekonomi, mengabaikan masalah kebudayaan. Para sastrawan Indonesia tidak dilibatkan atau terkesan cuek dengan peristiwa dunia ini. Padahal forum ini cukup strategis untuk mengatasi pelbagai masalah global dengan visi kebudayaan.
Kita tahu ketika KAA di Bandung 1955 dihadiri para pemimpin negara AA dan delegasi pengarang. Delegasi pengarang Indonesia ketika itu dipimpin oleh Pramoedya Ananta Toer. Dalam konferensi, para pengarang membuat program kerja sama sastra, dengan menerjemahkan dan menerbitkan sastra Asia dan Afrika. Situasi Perang Dingin yang melatari menjadi isu yang dibahas masing-masing delegasi, di samping ide-ide perkembangan sastra masing-masing negara dan lomba karya sastra. Menurut Pram, ide lomba karya sastra antara Indonesia dan Vietnam, gagal direalisasikan karena Amerika menduduki Vietnam.


***
Indonesia sebagai sebuah negara diproklamasikan pada 1945, melalui sebuah revolusi untuk mengusir kolonialisme Belanda. Setelah menjajah Indonesia selama 350 tahun, Belanda meninggalkan wilayah dari Sabang sampai Merauke. Dalam revolusi kemerdekaan kesadaran geo-politik tumbuh di kalangan cendekiawan dan seniman yang berjuang di lapangan kebudayaan, seperti Soedjatmoko, Sjahrir, Sitor Situmorang, Chairil Anwar, dll. Kesadaran geo-politik tidak tumbuh begitu saja. Tetapi hasil dari revolusi dan konsensus nasional dari anasir-anasir dalam masyarakat.
Tarik-menarik kekuatan politik dan ekonomi menjelma gelombang separatisme yang dihadapi dengan perlawanan berdarah. Sering terjadi perpecahan di tubuh militer dan muncul sikap kritis masyarakat tentang pembagian anggaran belanja daerah. Daerah diperas untuk menopang anggaran belanja negara. Kekayaan dari eksploitasi alam hanya dinikmati oleh Jakarta (sentralisasi). Belum lagi terjangan Perang Dingin, konflik laten Kapitalis versus Komunisme.
Para sastrawan (baca: pengarang) pada awal revolusi dan dalam periode revolusi belum selesai (sampai tahun enam puluhan, ditandai dengan era Konfrontasi dengan Malaysia) menyadari bahwa karya sastra sebagai sebuah produk kebudayaan dalam arti luas, yang menanamkan rasa kebangsaan, dan harga diri di tengah pergaulan bangsa-bangsa. Rakyat Indonesia kini sebagian besar buta geografi Indonesia. Bagaimana hendak mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) apabila tidak mengetahui secara persis geografi bangsanya. Masih ratusan pulau di Indonesia belum mempunyai nama. Menurut Pramoedya Ananta Toer, angkatan muda semestinya mengumpulkan data di daerah masing-masing, suatu saat pasti berguna. ”Tulis! Suatu saat berguna,” kata Bung Pram dengan suara tinggi bergetar.
Saya kira kata-kata itu sering diucapkan kepada angkatan muda dan menjadi kerja pengarang yang tidak habis-habisnya. Sampai saat ini, Pramoedya Ananta Toer tekun mengumpulkan data tentang Indonesia. Dokumentasi sejarah bangsa Indonesia yang berton-ton itu berada di lantai atas kamar kerjanya.
Kepengarangan adalah kerja besar. Bayangkan apabila angkatan muda pengarang Indonesia menulis tentang daerah masing-masing atau bekerja sama dengan pihak lain, menulis monografi daerah masing-masing. Menulis segala potensi di daerah. Dari hasil kekayaan alam, industri, kesenian dan kekayaan sumber daya manusia.
Para sastrawan menulis dengan latar belakang budaya masing-masing. Kita mengenal Umar Kayam menulis ”Seribu Kunang-kunang di Manhattan”. Menceritakan Marno yang kesepian di apartemennya bersama Jean, teringat seribu kunang-kunang di persawahan desanya di Jawa saat melihat kemerlap-kemerlip lampu-lampu di Manhattan. Atau Olenka (1983) karya Budi Darma yang mengeksplorasi arus bawah kesadaran semata. Sebagai novel saya kira berhasil. Tapi rapuh kesadaran geo-politik. Atau Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG, yang hanya mengeksploitasi fatalisme wanita Jawa, puisi lirik itu seperti suara gamelan yang lirih di tengah perang kode di zaman kita.
Masih dibutuhkan prosa atau puisi tentang kehidupan manusia Indonesia, dengan segala problematikanya, dengan topografi daerahnya masing-masing. Karya ini kelak menjadi ilham generasi berikutnya. Segala potensi dan masalah mendasar yang timbul di permukaan muncul dalam bentuk cerpen, novel, maupun puisi. Karya sastra tidak hanya sebagai sebuah ekspresi individual, namun juga sebagai agen perubahan, dengan cara menuliskan kondisi objektif di tengah rakyat.
Kerja pengarang adalah kerja besar, dengan berbagai risikonya. Apa yang dinamakan turun ke bawah (Turba) melihat kondisi masyarakat adalah bentuk amalan para pengarang untuk menuliskan kondisi masyarakat yang sesungguhnya. Hasilnya, sebuah karya sastra yang tidak klangenan, atau pemuas pembaca semata. Tapi sebuah ekspresi dan perjuangan yang mendasar bagi eksistensi manusia.
Kritikus sastra HB Jassin, misalnya, dengan tekun mencatat perkembangan sastra yang muncul dari daerah-daerah terpencil di Indonesia. Sebagai editor di beberapa majalah dan berkala sastra, ia memuat karya-karya sastra dari (calon) pengarang dari berbagai pelosok daerah. Dengan majalah/berkala sastra yang diterbitkannya, HB Jassin mencatat atau mengomentari, dan memberi ruang bagi potensi sastrawan di daerah. Kita masih ingat buku Tifa Penyair dan Daerahnya (1952), antologi puisi dari sastrawan dari seluruh Indonesia.
Maaf kalau saya loncat ke zaman kolonial Belanda. Untuk kelancaran birokrasi, pemerintah kolonial mengirim para kontroler ke daerah-daerah untuk inspeksi dan menuliskan laporan selama masa tugas. Dari pengamatan langsung ke tengah masyarakat telah terjadi ketidakadilan yang bersumber dari feodalisme, kita mengenal nama Multatuli (nama pena dari Douwes Dekker) yang menulis Max Havelaar, roman yang mengambil latar cerita di Banten.
Karya-karya Pramoedya Ananta Toer merupakan visi kebangsaan yang jelas dan sarat kesadaran geo-politik. Beberapa sastrawan Angkatan 66, misalnya, Gerson Poyk yang menulis tentang Kepulauan Halmahera, Bukit-bukit Sumbawa, Pulau Rote dan Timor. Atau Romo Mangunwijaya menulis roman Burung-burung Manyar, merupakan karya dengan kesadaran geo-politik. Sayang sekali, para kritikus Barat hanya memberi cap sebagai karya sastra dengan warna lokal, yang kadangkala bisa tergelincir jadi turistik atau hanya mengeksploitasi eksotisme Timur, yang beku atau dibekukan oleh hegemoni kekuasaan politik. Contoh yang gamblang dalam hal ini adalah dalam seni rupa: Mooie Indie (Hindia Molek).
Di tengah demam KAA di Bandung 2005, saya bertanya dalam hati: di mana para pengarang Indonesia? Padahal KAA 1955 dihadiri para pengarang dari Asia dan Afrika. Pramoedya Ananta Toer mendapat serangan dari berbagai pengarang Asia karena menguraikan Nasakom; nasionalis-agama-komunis. Sebagian pengarang Asia antikomunis merasa skeptis Nasakom dapat dijalankan di Indonesia. Ide-ide sastra bermunculan dalam KAA 1955. Tapi kini surut.
Tak ada lagi ide-ide sastra yang memiliki kesadaran geo-politik. Sastrawan Indonesia kini sibuk dengan isu ”domestik” untuk memetakan dirinya dalam kancah local, regional dan internasional untuk mendapatkan pengakuan, miopik. Sastrawan angkatan tua berebut menguasai forum sastra regional dan internasional. Mereka menguasai jaringan internasional pelbagai forum dan festival sastra.
Dari Eropa, Amerika, hingga forum regional seperti dalam Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN). Mereka membuat program rutin saling mengulas karya sastra sendiri, mengabaikan perkembangan sastra dari angkatan muda. Di sana tidak ada ide sastra geo-politik. Mereka hanya berkutat dalam ”bahasa” belaka, abai dengan konteks wilayahnya (geo-politik). Kasihan deh lu!



*) Penulis adalah idesiator Kerabat Pekerja Kebudayaan, Kepak Institute, Jakarta


(Sinar Harapan, 30/7/2010)

Source : here

Tuesday, April 26, 2005

Konferensi Asia-Afrika 1955 Versi Cina

Prakarsa Rakyat - Bandung, Kekhawatiran delegasi Republik Rakyat Cina--dulu ditulis dengan Republik Rakjat Tjina (RRT)--dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955 di Bandung akhirnya terbukti. Dalam forum itu, masalah komunisme yang dianut Cina menyembul ke permukaan. Walhasil, tak hanya Perdana Menteri Cina Zhou Enlai dan rombongan yang terkejut, tapi juga negarawan lain. Tengoklah, Perdana Menteri India, Nehru, langsung terperangah. Begitu juga dengan Perdana Menteri Indonesia, Ali Sastroamidjojo. Saking kagetnya, sampai-sampai Ali mengusap wajah dengan telapak tangan kanannya.
Perdana Menteri Irak Mohammad F. Gamal dengan lantang bicara di podium. Mengenakan setelan jas hijau gelap, pria berbadan besar dan berkacamata itu menyatakan adanya kekuatan ketiga--di luar kolonialisme dan zionisme--yang menyebabkan pergolakan di dunia. "Kupikir kalian semua sangat menyadari ini, yaitu komunisme!" katanya, sembari mengacungkan jari telunjuknya ke depan.
Kegaduhan pun tercipta hingga Ali yang memimpin sidang berulang kali meminta hadirin tenang. Zhou Enlai sendiri, meski terkejut, tetap berusaha tenang. Lalu ia mengambil pena dan menulis di kertas putih dan disorongkan ke anggota delegasi yang lain. Isinya singkat, "Aku harus memohon di sini. TAHAN AMARAH." Tenang, sabar, bijak, dan selalu memiliki solusi jitu.
Itulah gambaran sikap Zhou, Perdana Menteri sekaligus Menteri Luar Negeri Cina, dalam video Zhou Enlai in Bandung. Selama sepekan, 18-24 April, video yang lolos Lembaga Sensor Film pada 18 Januari 2005 ini diputar di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung. Pemutaran dilakukan oleh The Asia Africa Academy untuk menyambut Peringatan 50 Tahun KAA 1955.
Sikap Zhou seperti itu tak hanya muncul ketika masalah komunisme di singgung dalam KAA, tapi bertaburan sejak awal hingga akhir. Di bagian awal, sekadar contoh, Zhou tetap nekat naik pesawat milik India "Raja Hegemon". Padahal, beberapa hari sebelumnya, anggota staf delegasinya terbunuh dalam perjalanan menuju Bandung ketika naik pesawat Dinas Penerbangan Internasional India, "Putri Kashmir". Pesawat itu meledak di Laut Cina Selatan karena sabotase agen rahasia KMT (Kuo Min Tang).
Di bagian lain, Zhou sama sekali tak emosional ketika mendengar pidato Gamal, begitu juga saat ia harus membacakan pidato balasan. Ketenangan dan kepiawaian berdiplomasi juga ditunjukkan Zhou saat sidang rapat komisi politik ricuh. Bahkan Perdana Menteri India Nehru digambarkan keluar ruangan saking marahnya.
Sulit dimungkiri, secara keseluruhan, video ini sangat berhasil menggambarkan kehebatan peran Zhou dalam KAA 1955. Tak sepenuhnya salah, memang! Ihwal bahasa diplomasi Zhou yang lembut sehingga tak menimbulkan kemarahan dan perselisihan dengan delegasi yang lain, sekadar contoh, diakui pihak lain.
Pengakuan tentang kenegarawanan Zhou antara lain diungkap dua tokoh penting di balik KAA 1955, yakni Ali Sastroamidjojo, arsitek KAA, dan Roeslan Abdulgani, Sekjen Kesekretariatan KAA. Hal itu bisa dilihat dalam buku terbitan The Asia Africa Academy, yang diluncurkan Sabtu (23/5), pekan lalu, bertajuk Ali Sastroamidjojo, Kesaksian Tonggak-tonggak Perjalanan Konferensi, dan Roeslan Abdulgani, Asiafrika! Bandung Connection.
Cuma, merujuk pada buku yang sama, isi video Zhou memang terasa agak berlebihan dan berpotensi memancing polemik. Maklum, beberapa bagian di antaranya berbeda dengan keterangan Ali dan Roeslan, sebagai sesama pelaku KAA 1955. Dalam video, tokoh yang mempermasalahkan komunisme adalah Gamal dari Irak, sementara Ali dan Roeslan menyebut Perdana Menteri Sri Lanka Sir John Kotelawala. Jika video memperlihatkan Zhou dengan santun mempersilakan Gamal untuk keluar ruangan terlebih dulu setelah sidang selesai, Roeslan menyebut adanya saling tuding antara Zhou dan John Kotelawala.
Hal lain yang membingungkan adalah kericuhan yang muncul dalam rapat komisi politik, seperti terlihat dalam video. Maklum, menurut Ali dan Roeslan, rapat panitia politik berjalan lancar setelah mendengarkan pidato Zhou dan Kotelawala. Kalaupun ada ricuh, bahkan buntu, itu terjadi dalam Panitia Adhoc Gamal Abdul Nasser--yang dibentuk dengan tugas menampung dan merumuskan semua usul dan pendapat yang diajukan dalam panitia politik. Nah, jika kericuhan yang dimaksud dalam video ini terjadi dalam panitia ad hoc, yang mencairkan suasana adalah Ali, bukan Zhou.
Tak pelak, sejumlah perbedaan ini menimbulkan polemik: mana yang benar? Hal inilah yang terjadi setelah siswa-siswa SMA di Bandung menonton video tersebut. Kebingungan itu sempat disuarakan salah satu guru, Iwan Hermawan. Dan jawaban yang memuaskan belumlah ada. Kalau saja saksi hidup KAA 1955, Roeslan Abdulgani, berkesempatan memberi tanggapan isi video ini, kebingungan itu pasti tak akan berlangsung lama.
Kejelasan mungkin juga bisa didapat tentang Ibu Negara RI, yang digambarkan bermata sipit. Dia adalah Naoko Nemoto alias Ratna Sari Dewi? Tak mungkin. Sebab, wanita cantik ini dinikahi Soekarno pada Maret 1962, sekian tahun setelah KAA 1955 berlangsung.


(Koran Tempo, 26/4/2005)

Source: here